8 Apr 2006

Cerpen : Memandang Puncak Monas

Memandang Puncak Monas


“Aray! Coba tebak aku dimana?” Sebuah suara memecah kesunyian malam. Nadanya terdengar manja. Bukan, bukan, lebih tepatnya kekanak-kanakan. Ia memang begit polos. Apa yang sedang ia rasakan, seperti itu pula yang akan ia keluarkan. Ia tidak bisa menyembunyikan perasaan. Orang yang bicara dengannya secara langsung, pasti dapat mengetahui suasana hatinya saat itu. Aku yang hanya mendengar suaranya lewat ponsel pun tahu.
“Aray, aku di Jakarta! Aku di kotamu!” Alunan suaranya meninggi. Ia sedang gembira.
“Selamat datang. Kau dimana?” tanyaku.
“Sekarang aku ada di hotel, dekat monas. Dari sini aku dapat melihat puncak monas. Aray, apakah kau masih tinggal di apartemenmu?”
“Ya, aku masih tinggal di tempat – seperti yang pernah kubilang dulu.”
“Di kamar apartemen yang tinggainya sama dengan puncak monas.” Elvi, gadis itu mengucapkan kata-kata yang sengaja aku sembunyikan.
Ia membuatku terbayang kembali akan pertemuan pertama kami di Bandung, empat bulan silam. Waktu itu malam hari, di tengah keriuhan Dago, kami berbincang panjang lebar. Kemudian baru berkenalan. Mengapa kenalannya belakangan? Karena kurasa urusan nama itu tidak terlalu penting.
Untunglah setelah sekian lama aku masih mengingat namanya, sehingga aku tidak harus menebak-nebak waktu nama Elvi muncul di layar ponselku.
Elvi yang ceplas ceplos, menyebutkan nama hotel yang ia tinggali selama di Jakarta.
“Kami dapat kamar di lantai tiga. Huh, jauh sekali dari puncak monas. Tapi untungnya kamar ini langsung menghadap monas. Besok aku mau ke sana bersama teman-temanku.”
Elvi ke Jakarta memang bersama teman-temannya. Ia ada tugas penelitian. Salah satu objek penelitiannya, ya monas itu.
Ada beberapa suara kecil yang melatarbelakangi suara Elvi. Mereka pasti teman-teman Elvi.
“Aray, bagaimana kalau kita ketemu?”
“Oke. Dimana?”
“Di apartemenmu”
“Boleh saja.”
“Besok ya, menjelang siang. Pagi-pagi aku akan telepon kamu, supaya kamu nggak lupa.”
Elvi tertawa-tawa senang saat aku mengiyakan lagi. Benar-benar gadis yang yang menyenangkan. Aku hanya tersenyum saja ketika dia mulai berceloteh lagi. Bisa kubayangkan seperti apa raut wajahnya di ujung sana.
“Kamu lagi ngapain, Ray?”
“Aku? Sedang santai.”
“Duh, Aray! Asyik ya malam-malam begini bersantai ria.”
Elvi menggoda polos. Aku tertawa.
“Santaimu seperti apa, sih?” tanyanya lagi.
Sejenak aku berpikir untuk mengolah kata.
“Aku duduk di sofa. Meluruskan kaki ke atas meja. Ada capucino hangat yang siap diminum. Mendengarkan musik klasik sambil melihat keluar jendela.”
“Wuaaaa…asyik banget ya jadi kamu, bisa santai malam-malam begini.”
Rupanya dia sangat antusias dengan apa yang baru saja kubilang.
“Aray, kamu kan sedang melihat ke jendela, kamu tentunya melihat puncak monas, dong.”
Gadis itu benar-benar mengingat semua perkataanku saat di Bandung dulu. Aku memang pernah mengatakan itu padanya. Bahwa, setiap melihat ke luar jendela, aku akan langsung melihat puncak monas. Karena kamar apartemenku tingginya setara dengan puncak monas.
“Ya, tentu saja aku melihatnya,” ujarku lirih pada Elvi di sebrang sana.
“Nah, Aray, aku pun sedang memandang puncak monas. Biar kita tidak bertemu muka hari ini, tapi kita sama-sama sedang melihat satu hal yang sama.” Elvi berkata sambil tersenyum.
“Aku pun terseyum dalam hati.
“Lihat! Sangat terang!,” lanjutnya. Tentunya saat ini matanya terpaku pada sebongkah emas di atas angin sana.
Selama beberapa detik kami terdiam. Hanyut dalam pikiran dan khayalan masing-masing.
“Aray, pandangan kita telah bertemu di puncak itu,” kata Elvi.
“Ya, aku dapat melihat sorot matamu terpantul ke arahku.”
“Ah, Aray bisa saja.”
Dia pasti sedang tertawa malu-malu. Aku tahu itu.
“Aray, apartemen kamu yang sebelah mana, sih? Dari sini aku kurang bisa membedakan, yang mana apartemen, yang mana hotel,” keluhnya.
“Coba kau edarkan pandanganmu keluar jendela,” aku memandu. “Kau lihat gedung di sebelah kirimu. Gedung itu tinggi sekali. Lihatlah sebuah kamar yang tingginya sama dengan puncak monas.”
“Aku melihatnya. Apakah kau di sana? Hei, lampunya masih menyala! Jadi kau disana? Aray!”
Inilah puncak kegembiraan Elvi. Ia pasti sedang loncat-loncat.
“Aray! Aku melambaikan tangan ke arahmu!”
“Aku pun sedang melambaikan tangan ke arahmu, Elvi.”
Kami pun tertawa bersama.
Namun sesuatu telah membuat dia terdiam. Aku tahu dia tidak shock. Mungkin hanya kaget kecil.
“Aray,” panggilnya pelan.
“Ya,” aku menyahut santai.
“Kau bilang kau sedang mendengarkan musik klasik.”
“Iya, benar.”
“Tapi kenapa yang terdengar olehku…lagu dangdut.”

Aku bertemu dengan Elvi saat aku ditugaskan ke Bandung bersama timku. Ketika itu ada pameran seni dan aku adalah salah satu seksi sibuknya. Berjalan mondar-mandir sambil mengangkat ini itu. Belum lagi ketua timku yang tiada henti-hentinya bersuara. Hati-hati jangan sampai pecah, taruh di sini, taruh di situ. Benar-benar sibuk!
Malam harinya aku melepas lelah di salah satu sudut Dago. Di sanalah pertama kali aku berjumpa dengan Elvi. Mulanya aku hanya ingin menanyakan jam (bukan sekedar basa basi, tapi aku benar-benar ingin tahu jam berapa saat itu. Karena arlojiku mati). Dia pun menjawab sekilas. lantas dia bertanya dari mana asalku. Aku pun menjawab dengan jujur bahwa aku dari Jakarta.
Perbincangan pun terus berlanjut sampai larut. Pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban yang terlontar bernar-benar tidak ada yang direncanakan. Semuanya spontan!
Setelah bicara anjang lebar, barulah kami menyebutkan nama masing-masing. Mengapa kenalannya belakangan? Untuk soal itu seprtinya sudah kuceritakan tadi.
Sungguh aku tidak menyangka Elvi masih ingat denganku. Padahal setelah pertemuan di Dago itu, nyaris kami tidak pernah kontak. Yah, paling sms sekali-sekali. karena itu aku merasa surprise ketika mendengar suaranya malam ini. Hitung-hitug sebagai penghibur di antara letihku.
Cuaca sangat panas. Kipas angin kecil tidak punya cukup tenaga untuk mengeringkan peluh yang menetes di dahiku dan yang membasahi lenganku.
Tubuhku pegal. Jari-jariku pegal. Otakku pegal. Hampir tiga jam aku berada di depan komputer. Pekerjaan menumpuk. Dikejar deadline. Mau tak mau aku harus begadang lagi. Seperti kemarin malam.
Usai menerima telepon Elvi, aku melangkahkan kakiku keluar. Aku berdiri menyandarkan tanganku di balkon sambil memandang ke bawah. Ke jalanan yang berupa gang sempit tempat ibu-ibu, bapak-bapak, anak-anak, muda-mudi dan aku sendiri, biasa lewat. Gang yang suka banjir bila musin penghujan tiba. Lantaran tak ada saluran air yang memadai di sekitar sini untuk menyalurkan air-air dari langit itu. Untungnya aku menempati ruang di lantai dua. Sehingga tidak perlu repot-repot mengungsi bila banjir. Tidak seperti teman-temanku yang nge-kost di bawah.
“Ray, keluar yuk!”
Aldi, teman kost-ku memanggil dari bawah.
“Kemana?”
”Ke depan. Biasa.”
‘Depan’ yang dimaksud Aldi adalah depan gang yang dimana banyak tempat orang berdagang bila malam-malam dan cocok untuk tempat kongkow bareng.
“Sori, lagi sibuk nih gue,” aku menyahut.
“Kalo honor lu turun, jangan lupa ya traktir,” kata Aldi sambil mengeluarkan rokok dari sakunya.
“Sip!” sahutku sambil mengangkat jempol kiri.
Maaf kawan, kebutuhanku banyak. Bila honor kuterima, aku akan langsung menabungnya, ujarku dalam hati.
Aldi pun berlalu bersama teman-teman kost-ku yang lain.
Di sebelah tempat kost-ku, ada warung rokok kecil milik Mpok Ijah. Satu dua orang datang ke sana. Setelah barang yang mereka butuhkan sudah didapat, mereka pun pergi. Warung Mpok Ijah kembali sepi.
Kuperhatikan wanita itu selalu sabar menanti pembeli. Jika tak ada pembeli, ia menyibukkan diri dengan menata barang jualannya. Ditemani lagu dangdut favoritnya. Lagu itulah yang terdengar oleh Elvi lewat telepon genggamku tadi.
Elvi yang malang. Apakah dia tahu bahwa tadi dia sendirian memandang puncak monas? Aku telah berbohong saat mengatakan bahwa aku melihat pantulan sorot matanya lewat bongkahan emas itu. Karena dari dalam kamar kost-ku, aku sama sekali tidak bisa melihat monas. Yang kelihatan hanya tembok tinggi tanpa jendela yang merupakan sisi samping sebuah ruko.

*maaf cerita ini tidak diposting sampai akhir :)