8 Mar 2006

Cerpen : Sunrise Café

Sunrise Café

Sunrise Café adalah sebuah restoran yang buka dari pagi sampai malam. Terletak di pinggir jalan. Outdoor. Sebenarnya yang indoor juga ada, tapi penduduk di sana lebih suka makan di Sunrise Café outdoor. Karena sambil makan bisa melihat orang lalu lalang. Apalagi letaknya dekat taman. Jalan yang ada di dekatnya bukanlah jalan raya umum. Hanya sekali-sekali mobil yang lewat situ. Jadi orang-orang yang makan di sana tidak terganggu oleh polusi atau bisingnya kendaraan bermotor yang lewat.

Meja-meja yang ada di outdoor dikelilingi empat sampai enam buah kursi dan dinaungi payung besar. Di cuaca panas atau dingin, Sunrise Café selalu penuh dengan pengunjung. Baik yang benar-benar ingin makan atau sekedar kumpul-kumpul dengan dengan rekan-rekan mereka.

Pagi itu, di salah satu sudut, berkumpulah Webber dan tiga temannya. Webber baru saja menceritakan masalahnya pada mereka.

“Coba kalian pikir, apakah wajar jika seorang wanita yang dulu pernah satu sekolah denganku, bahkan satu kelas denganku, sebentar lagi akan menjadi ibuku.”

“Kupikir wajar saja,” kata Louis dengan santai. “Daripada kau punya seorang teman pria yang pernah satu sekolah dan satu kelas denganmu, tiba-tiba akan menjadi ayahmu. Itu baru tidak wajar. Masak kau punya ayah yang seumuran denganmu.”

“Louis!” geram Webber.

“Kalian berdua, kasih saran buat Webber,” kata Louis pada Evan dan Desmond.

“Kau sendiri punya saran apa buatku?” tanya Webber.

“Mudah saja,” Louis berdehem. “Kau cari wanita tua dan kau nikahi dia. Seimbang kan?”

“Louis!” Webber makin geram.

Desmond bicara.

“Buatlah seolah-olah kau jatuh cinta padanya. Siapa tahu dia tertarik padamu lantas memutuskan ayahmu. Setelah itu kau putuskan dia.”

Webber menggeleng.

“Kau?” tunjuk Webber pada Evan. “Ada saran buatku?”

“Kalau kau tidak menyetujui hubungan mereka, kau pergi saja dari rumah.”

“Apa yang harus aku lakukan?” Webber pusing sendiri.

Sudah dua bulan ini ia dipusingkan dengan hal itu. Ayahnya yang seorang duda akhirnya punya teman wanita juga. Webber senang karena ada wanita yang memperhatikan ayahnya. Tapi begitu Webber tahu siapa orangnya, ia langsung shock. Bagaimana tidak, wanita itu adalah Evelyn yang umurnya sama dengannya dan pernah satu sekolah dengannya. Dan ayahnya bilang, dalam beberapa bulan ini ia akan menikahi Evelyn. Oh, tidak!

“Sst, lihat Ivonne jalan sama seseorang,” kata Evan.

Mereka semua langsung melihat ke arah trotoar, termasuk Webber. Ivonne adalah salah satu penduduk kota itu.. Ia sangat menarik, sehingga siapa pun kenal dengan gadis itu. Termasuk Webber dan teman-temannya.

“Rasanya aku tahu laki-laki itu,” gumam Desmond. “Siapa, ya?”

Ia berpikir. Lama. Padahal teman-temannya sudah tidak sabar menunggu jawabannya.

Tak lama kemudian Evan melihat seseorang lagi yang ia kenal, sedang berjalan sendirian di trotoar.

“Web, itu calon ibumu, Evelyn,” katanya.

Evelyn melihat mereka.

“Hai!” ia menyapa duluan.

“Hai!”

Mereka membalas, kecuali Webber yang sibuk bersungut-sungut. Karena sumber permasalahannya tiba-tiba muncul di depan mata.

Evelyn menghampiri meja mereka.

“Hai, calon anakku,” sapa Evelyn pada Webber.

“Hai , calon ibuku,” balas Webber dengan kaku.

Louis, Evan dan Desmond menahan tawa mereka.

“Mulai sekarang kau harus belajar memanggilku ‘Mama’. Tidak sulit kan? Kau sarapan di sini?” tanya Evelyn.

“Ya.”

“Baiklah. Aku pergi dulu.”

Setelah Evelyn pergi, teman-teman Webber tertawa. Webber kesal.

“Pasti dia mau pergi ke apartemen menemui ayahku,” katanya. Lalu dia menirukan gaya Evelyn. “Mulai sekarang kau harus belajar memanggilku ‘Mama’. Oh, aku tidak bisa. Sejak umur lima tahun tidak ada yang kupanggil dengan sebutan Mama.”

“Web, aku ada usul lagi,” kata Louis. “Sebaiknya kau cari wanita tua…”

“Aku tidak mau kawin dengan wanita tua!!” jerit Webber.

“Bukan untukmu, Web,” potong Louis. “Untuk ayahmu. Kau cari wanita yang seumuran dengan ayahmu dan kau kenalkan dia pada ayahmu. Siapa tahu ayahmu tertarik dan tidak jadi menikahi Evie.”

“Louis, dimana-mana apabila seorang pria bila dihadapkan dnegan dua wanita tua dan wanita muda, pasti yang dipilih wanita muda,” kata Evan.

“Tidak ada harapan buatmu, Web,” kata Louis.

“Aku tahu!,” kata Desmond tiba-tiba. “Aku tahu siapa pria yang bersama Ivonne tadi.”

“Siapa?” tanya Louis dan Evan berbarengan.

“Seorang manajer di restoran pizza yang letaknya dekat lapangan. Kalian tahu, usia pria itu agak jauh dari Ivonne. Mungkin hampir empat puluh.”

“Lagi-lagi lelaki tua,” komentar Webber. “Kenapa wanita-wanita di kota ini banyak yang jatuh cinta pada pria yang usianya jauh di atas mereka?”

“Iya. Kita dapat apa? Masak kita harus pacaran dengan anak umur sepuluh tahun.” Louis menggeleng-gelengkan kepalanya.

Webber berdiri seperti akan pergi. Tapi tidak jadi. Ia duduk lagi.

“Mau kemana, Web?” tanya Desmond.

“Tadinya mau pulang. Tapi aku hampir lupa kalau di rumah ada Evie.”

“Kau harus memanggilnya ‘Mama’,” Evan mengingatkan.

“Ah!”

Sampai ketiga temannya pergi, Webber tetap di situ. Padahal hari sudah menjelang siang.

“Webber, kau sendirian?” tanya Hannah yang baru datang. “Boleh aku duduk bersamamu? Aku sedang menunggu pacarku.”

“Nanti pacarmu marah kalau kau duduk di sini,” sahut Webber.

“Tidak. Pacarku pengertian dan sudah cukup dewasa untuk membedakan mana yang teman dan mana yang bukan.”

Dulu, Hannah adalah kakak kelas Webber di sekolah. Sekarang ia sudah bekerja di sebuah perusahaan.

“Siapa pacarmu?” tanya Webber.

“Bosku sendiri. Usianya memang sudah tidak muda lagi. Tapi dia cukup menarik.”

Bertambah satu lagi setelah Evelyn dan Ivonne.

Webber akhirnya pulang ke apartemen yang ia tinggali bersama ayahnya. Ternyata Evelyn amsih di sana.

“Hai, Nak!” Ayahnya menyapa.

“Hai, Yah!”

“Kau sarapan lama sekali.”

“Aku bahkan mau kembali lagi ke sana untuk makan siang.”

“Makan siang di sini saja. Evie akan memasakkan makanan untukmu.”

Webber hendak menolak. Tapi lebih baik ia masuk kamar.

“Webber, tunggu!”

“Ada apa, Yah?”

“setelah makan siang, kau antar Evie belanja.”

“Ayah, kenapa harus aku?” Webber protes.

“Ayah, mau pergi. Kau hanya mengantarkannya ke beberapa butik. Ia mau belanja pakaian.”

Akhirnya Webber mengantarkan Evelyn berbelanja baju. Di sebuah butik, mereka bertemu dengan salah seorang teman sekolah mereka dulu. Namanya Josh. Sejak lulus, mereka tidak pernah bertemu lagi. Karena rumah Josh jauh sekali, di pinggiran kota.

“Luar biasa. Jauh-jauh aku datang kemari, dan aku langsung melihat kalian berdua. Sungguh luar biasa. Kalian pacaran? Kenapa tidak dari dulu saja,” katanya.

Webber dan Evelyn gugup. Josh salah sangka.

“Ini tidak seperti yang kau sangka,” Webber berujar.

Sulit sekali menjelaskan keadaan yang sebenarnya pada Josh. Untungnya mereka dapat segera pergi dari butik itu.

“Kenapa kita tidak berkata jujur saja tadi?” kata Evelyn.

“Bahwa kau calon ibuku? Aku tidak bisa membayangkan dia akan tertawa lama sekali.”

“Sesuatu yang lucu jika dia tahu aku adalah calon ibumu?”

“Ya!” jawab Webber dengan ketus. Lalu ia membuang muka.

“Webber , kau tidak suka denganku?!” tanya Evelyn. “Webber, jawab!”

Webber masih memalingkan mukanya.

“Webber, aku di sini!”

Laki-laki itu pun menolehkan mukanya, memandang Evelyn dengan tajam.


*maaf, cerita ini tidak bisa diposting sampai akhir :-)*

1 komentar: