20 Mar 2007

Dari Arah Matahari Terbenam

Datang dari segala penjuru. Menaiki kuda besi yang berjalan lurus. Perjalanan yang egois. Membuat yang lain harus menunggu sampai beberapa menit.

Bertemulah di satu titik. Di mana seribu langkah menjadi satu. Di sebuah bangunan tua dengan atap melengkung. Sudah ada sejak zaman Belanda. Tapi tak terlalu disadari oleh mereka yang melaluinya. Sejarah tinggal sejarah. Orang-orang tak peduli dengan sejarah. Mereka menatap masa depan. Terburu-buru keluar dari pintu utara dan selatan. Hati-hati, lantainya tidak rata! Bangunan tua hanya tempat persinggahan saja.

Terima kasih sudah membawa raga dan jiwa ke sana. Mengenalkan pada masa silam yang sepi. Di mana para penjahatnya adalah orang Eropa. Di masa sekarang, jangan tanya siapa penjahatnya. Semua orang sudah tahu. Tapi tidak bisa melawan dengan bambu runcing. Di sini tak ada lagi rimbunan bambu. Sudah tergusur untuk bangunan berpagar besi. Kalau begitu serang saja penjahatnya dengan besi.

Di bangunan tua dengan atap melengkung itu, seseorang pernah menunggu lama. Tapi dia tidak sendiri. Dia bersama orang-orang yang tak dikenalnya. Mengharapkan sesuatu yang sama. Kadang dia bertemu atau berpapasan dengan temannya. Hanya menyapa sedikit. Malah terkadang pura-pura tak melihat. Malas bicara. Tidak perlu tahu siapa orangnya.

Kepulan asap langsung menyambut jika keluar dari pintu selatan atau utara. Langit abu-abu menjadi pemandangan biasa. Tanpa disadari paru-paru ternoda.

Berjalan menunduk menuju tempat kewajiban. Memusatkan perhatian dalam kubus yang dulu tak berjendela. Tangan berbicara. Mata berbicara. Pikiran mengembara. Terdampar dalam belantara ilmu. Tidak akan tahu apa yang ada di sana jika tidak punya niat untuk menyusurinya. Coba kulihat lembaran kertasnya.

Serpihan tatapan menusuk dalam udara yang hening. Tapi panah tak jua lepas dari busur. Sasaran terombang ambing dipermainkan angin. Sebuah cerita unik tak akan pernah tertulis, walau hanya satu alinea. Senang pernah kenal denganmu. Sampai jumpa di lain waktu.

Koridor tak punya mata untuk melihat ada yang jalan berdua. Bersama-sama menuju bangunan atap melengkung. Hari bersejarah dalam hidup. Sampai diungkapkan berkali-kali dalam dunia maya. Mudah-mudahan tidak ada yang membaca.

Sejarah, manis dan pahit, takkan terulang. Masa depan, manis dan pahit, pasti akan datang. Kau tumbuh dewasa. Teman-teman datang dan pergi. Tapi bangunan atap melengkung tetap di sana. Sekilas terlihat rapuh tapi sebenarnya ia kuat. Tidak akan ada yang bisa merobohkannya. Berterimakasihlah pada pendirinya, yaitu musuh di masa lampau.

Di sana seribu kaki kembali berpijak kala bumi dihantam jingga. Semua tak sabar untuk pulang. Dan mereka akan kembali esok hari. Bersama matahari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar